Minggu, 28 Februari 2010

Penghijauan Lingkungan Sebagai Solusi Utama Agar Jakarta Tidak Terkena Banjir Besar Lagi

Lagi-lagi bencana akibat kerusakan alam dan lingkungan terjadi di puncak musim hujan kali ini. Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) terkena banjir, di sekitar Jawa Barat lainnya seperti Karawang, Indramayu tidak luput dari banjir dan bahkan Bandung Selatan dilanda banjir besar disertai bencana tanah longsor.

Banjir Besar Jakarta telah terjadi pada tahun 2002, 2007, dan kalau mengikuti siklus lima tahunan banjir besar akan terjadi lagi tahun 2012. Namun pada kenyataannya pada tahun 2008 juga terjadi dan memang terjadi lagi di tahun 2010 ini, sehingga siklusnya maju menjadi dua tahunan. Kampung Pulo sempat banjir sampai 3 meter dan merupakan areal terparah banjir Jakarta tahun ini. Banjir terjadi akibat pintu air Manggarai tidak sanggup menerima limpahan banjir kiriman dari areal hulu Bopunjur (Bogor, Puncak dan Cianjur) via pintu air Katulampa. Kesemua banjir tersebut diawali dengan hujan lebat malam dan dini hari kadang berlanjut hingga pagi hari di daerah hulu, dan akan semakin parah menjadi banjir besar, jika ditambah hujan yang terus menerus secara lokal di Jakarta. (Lihat artikel Waspadai Banjir Besar Jakarta: Antara Prediksi BMKG dan Ramalan Mama Lauren)

Dibutuhkan kebijakan yang serius, menyeluruh dalam arti tidak setengah-setengah untuk mengatasi banjir di Jakarta ini, selain letak geografisnya yang memang kurang menguntungkan karena berada di dataran rendah dekat pantai, masih banyak hal yang menyebabkan terjadinya banjir di Ibu Kota Jakarta.


Namun pasti ada solusi untuk mengatasi masalah banjir yang terus berulang, bukan hanya lima tahunan menjadi dua tahunan dan jangan sampai menjadi acara tahunan yang sungguh memalukan, mengingat posisi Jakarta yang sangat strategis sebagai Ibu kota Negara dan pintu gerbang utama Indonesia. Pada peristiwa banjir besar Jakarta yang lalu, kegiatan ekonomi ibukota nyaris lumpuh total. Jalan tol Bandara Sukarno Hatta pun tak terhindar dari banjir yang mengakibatkan jadwal penerbangan jadi turut banyak yang dibatalkan. Penghijauan Lingkungan adalah solusi utama untuk mengatasi banjir besar Jakarta agar tidak terus terulang lagi dan terulang lagi.

Penghijauan Lingkungan sebagai area resapan air dan paru-paru kota.
Untuk mendukung habitat lingkungan perkotaan, menurut PBB, idealnya disediakan ruang terbuka hijau sekitar 30 % dari luas kota yang bersangkutan. Kota Jakarta sekarang ini hanya memiliki ruang terbuka hijau tidak lebih dari 10 %. Minimnya area resapan air mengakibatkan aliran air hujan di permukaan tanah akhirnya akan menggenang dan menimbulkan banjir.

Selain berfungsi sebagai area resapan air dan ruang interaksi sosial, ruang terbuka hijau ini semakin penting artinya dalam mendukung program ‘Go Green’ dalam rangka mengatasi Pemanasan Global (Global Warming) dan Perubahan Iklim ( Climate Change) yang dialami Bumi kita, sekarang ini. Selain itu juga penghijauan berperan sebagai paru-paru kota dan menyerap polusi udara terutama gas emisi CO2 yang konsentrasinya semakin menumpuk di atmosfer Bumi membentuk lapisan yang menyebabkan suhu di Bumi semakin panas.



Hutan dan taman kota seperti di Monas dan taman lingkungan seperti Taman Menteng dan yang lainnya, sangat diperlukan bahkan diperbanyak agar penghijauan di Kota Jakarta mencapai prosentase ideal atau setidaknya mendekati ideal angka 30 %.


Kebijaksanaan Ancol mengubah lapangan golf seluas 33,6 ha menjadi wahana “Ecopark” demi mewujudkan ‘Green Ancol’ pastinya lebih bermanfaat secara lingkungan. Hari Rabu (24/02) pagi, para siswa sekolah dasar di sekitar Ancol yang berjumlah ratusan murid dikerahkan untuk target menanam 10.000 pohon. Kegiatan ramah lingkungan semacam ini patut didukung dan kita apresiasi.

Di bekas lapangan golf ini, segera dibangun wahana ecopark yang berbasis edutainment. Ecopark akan dilengkapi berbagai sarana yang bisa dimanfaatkan bagi pendidikan lingkungan hidup, seperti taman flora, fauna, dan fasilitas multifungsi untuk permainan petualangan di lahan terbuka (sumber berita Kompas cetak 25/02/2010 halaman 25).


Kembalikan penyimpangan peruntukan dan penggunaan lahan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai areal terbuka hijau.

Penyempitan alur sungai akibat bantarannya banyak digunakan untuk permukiman penduduk juga menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir. Idealnya, lahan di sepanjang DAS ini ditertibkan dan peruntukannya dikembalikan sebagai jalur areal terbuka hijau minimal 5 meter ditambah jalan inspeksi untuk perawatan sungai dan penghijauan agar tetap berfungsi secara optimal. Penanaman pohon peneduh dan rumpun bambu bisa dipertimbangkan, mengingat pohon jenis ini sangat potensial untuk berfotosintesis sekaligus menangkap emisi CO2 di udara, dikarenakan penanaman bambu seluas satu juta are akan mengurangi hingga 4,8 juta ton emisi CO2 per tahun. *)


Dengan melakukan ini, otomatis ruang terbuka hijau di Jakarta akan bertambah secara signifikan. Sebaiknya penertiban dilakukan secara manusiawi dan terencana, setelah disediakan area pemukiman baru pengganti, seperti rumah susun bersubsidi yang bisa dicicil oleh warga, khususnya mantan warga penghuni sekitar bantaran sungai. Areal pemukiman baru pengganti ini pun harus menyediakan areal terbuka hijau agar tetap sehat dan nyaman dihuni.

Hijaukan ruang terbuka di sekitar Danau Buatan Kanal Banjir Barat (KBB) dan Kanal Banjir Timur (KBT).


Penghijauan di sepanjang DAS Ciliwung, memang sangat mendesak dan harus segera dilakukan, demikian pula dengan penghijauan di sekitar KBB dan KBT juga harus dijadikan areal terbuka hijau yang bisa meningkatkan daya serap air hujan. Jika dalam penerapannya ditata dengan baik menjadi taman ditambah jalur pejalan kaki (jogging track) untuk olahraga, tentunya sangat indah dan nyaman serta meningkatkan kualitas udara lingkungan sekitar.
Khusus KBB dan KBT, jika hutan kota disekitarnya bisa dibuat terencana dengan baik, bisa dijadikan obyek rekreasi hijau alternatif yang sangat menyehatkan bagi warga Jakarta.

Koordinasi dengan penataan penghijauan lingkungan hutan pada daerah hulu Bopunjur.Kondisi Bogor Puncak Cianjur (Bopunjur) sebagai daerah resapan air yang telah mengalami banyak perubahan fisik terutama akibat penyimpangan dalam peruntukkan lahan, berperan besar memicu aliran air hujan yang nyaris seluruhnya bisa masuk dan tumpah mengalir ke Jakarta. Banyak pohon-pohon besar di hutan hulu Sungai Ciliwung ditebang dan dikorbankan untuk dijadikan rumah peristirahatan, bangunan lain atau pun peruntukan lainnya. Idealnya penghijauan yang harus dijaga kelestariannya pada areal hulu ini minimal 30 persen, namun kenyataannya sekarang banyak yang rusak dan berubah fungsi. Oleh karena itu, penghijauan hutan kembali di areal hulu Ciliwung ini adalah mutlak harus dilakukan, agar daya resap air hujan semakin optimal serta tidak langsung masuk ke areal sungai.


Hal yang mendesak lainnya adalah dicari solusi agar air hujan terutama dengan kapasitas curah yang tinggi, dapat ditahan atau ditunda alirannya jangan langsung sekaligus tumpah ke Pintu Air Katulampa. Salah satunya dengan cara membuat ‘danau buatan’ sebagai penampung air dengan kapasitas memadai dengan lokasi sebelum masuk ke Katulampa. Danau buatan semacam banjir kanal ini berfungsi sebagai filter agar tidak semua air hujan di areal Bopunjur tumpah langsung ke Katulampa. Proyek ini bisa segera direalisasikan dengan kerjasama antar gubernur bahkan sampai tingkat kementerian karena sudah menyangkut Ibukota Negara. Peran swasta khususnya perusahaan besar di Jakarta untuk turut serta membiayai tentunya sangat diharapkan, agar masalah banjir bisa diatasi secara tuntas.

Kegiatan penghijauan hutan hulu Ciliwung dengan menanam 4 ribu pohon yang dilaksanakan Nokia (Program Nokia Give & Grow) bekerja sama dengan TES-AMM Indonesia dan WWF Indonesia patut diacungi jempol. Hal ini merupakan aksi nyata dari peran kepedulian perusahaan swasta atas masalah lingkungan yang terjadi di Jakarta sebagai ibukota Negara.

Aksi hijau penanaman pohon mulai dilakukan di area hulu daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung, desa Cikoneng, Cisarua, Bogor pada awal Februari ini dengan luasi areal sekitar 10 ha. Aksi hijau dengan cara menukar HP bekas dengan tanam pohon ini mempunyai manfaat langsung dalam mencegah terjadinya banjir di Jakarta.

Perluas Areal Penghijauan Mangrove.
Perlunya ditinjau lagi Amdal dari kebijakan reklamasi pantai di Utara kota Jakarta, terutama yang menggusur areal hutan bakau (Mangrove) yang sangat berperan menjaga keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati yang ada di sepanjang pantai utara Jakarta.


Hutan bakau merupakan perisai alam utama untuk menghadapi badai dan kenaikan muka air laut (Rob). Oleh karena itu penanaman kembali Mangrove, sangat mendesak dilakukan, khususnya dalam rangka mengatasi masalah banjir di Jakarta.

Green Building’ dan Sumur Resapan sebagai solusi ramah lingkungan.
Penerapan ‘green building’ pada Ibukota Jakarta, khususnya pada bangunan perkantoran baik pemerintah mau pun swasta, jika perlu juga diterapkan pada perumahan warga-nya. Pada ‘bangunan hijau’ ramah lingkungan ini, sumber energi menggunakan energi terbarukan dari alam seperti panel matahari atau kincir angin. Hemat energi dan air diterapkan pada operasional sehari-hari. Pada halaman dan dak atap bangunan bisa diolah menjadi taman dengan berbagai tanaman untuk menciptakan lingkungan hijau.

Karena menurut penelitian ahli lingkungan dunia:
Bila satu juta atap rumah ditanami tumbuhan, 595.000 ton CO2 per tahun dapat dikurangi.
Pemasangan 100.000 turbin angin skala rumah tangga akan mengurangi 900.000 ton CO2 per tahun.
Jika satu juta rumah menggunakan sel surya untuk sumber energinya, kita bisa mengurangi emisi karbondioksida sebanyak 4,3 juta ton per tahun. *)




Kebijakan setiap bangunan di Jakarta memiliki sumur resapan masing-masing sangatlah positif dalam rangka mengatasi masalah banjir. Demikian pula partisipasi aktif masyarakat untuk membuat resapan air berupa biopori beserta penghijauannya di halaman rumah masing-masing sangat berdampak positif sebagai solusi mengatasi banjir, jika sebagian besar warga mau melakukannya.

Hal-hal lain yang juga sebaiknya dilakukan sebagai solusi mengatasi banjir adalah:

Perbaiki sistem drainase dan tempat penampungan air hujan.
Saluran air di wilayah kota Jakarta banyak yang tak lagi memadai dan bahkan sering diabaikan dalam menjaga fungsi yang semestinya akibat adanya kepentingan lain. Banyak saluran air yang ‘mampet’ karena banyak sampah dan tanah bekas galian beberapa instansi secara tumpang tindih dan silih berganti, sebentar ada galian untuk PAM terus PLN nantinya lagi telpon, sepertinya tidak ada koordinasi antar instansi di pemda.

Dengan kondisi ini, sistem drainase yang ada menjadi belum optimal dalam mendistribusikan air limbah dan air hujan yang datang. Jakarta berada pada dataran rendah, malah sebagian lebih rendah dari permukaan laut. Sehingga air pasang laut (Rob) juga menjadi ancaman serius. Oleh karena itu, memerlukan suatu sistem yang terintegrasi untuk mendisribusikan air buangan ini, terutama saat terjadinya hujan.

Kemudian 'situ' (semacam danau) yang dulu pernah ada dan berfungsi sebagai penampung air, kini sudah beralih fungsi menjadi komplek hunian baru dan bahkan hampir tidak ada lagi. Untuk menggantikan fungsi situ yang hilang, pembangunan Banjir Kanal memang harus dilakukan sebagai tempat penampungan air hujan yang baru dan harus sudah tembus sampai ke laut agar genangan banjir bisa disalurkan dengan segera.

Ubah perilaku buang sampah sembarangan.
Perilaku buruk buang sampah di jalan, tampaknya hanya sepele, tapi selanjutnya sampah tersebut bisa terbawa angin masuk selokan sampai di sungai dan pintu air dan sebagian lagi terbawa arus hingga sampailah ke laut. Sampah anorganik seperti berbagai jenis plastik, styrofoam, kemasan aluminum foil bekas makanan ringan, minuman dan sebagainya, sangat mudah terbawa arus air. Betapa menyedihkan, beberapa pintu air dan sungai di Jakarta seolah telah menjadi tempat pembuangan sampah terbesar. Pada setiap peristiwa banjir, sebagian besar dari sampah tersebut akan semakin cepat masuk ke sungai bahkan sampai ke laut.

Untuk diketahui sampah non organik seperti plastik baru bisa terurai setelah mencapai ratusan tahun dan mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekosistem aneka satwa yang ada di sungai dan laut. Oleh karenanya perlu penyuluhan untuk meningkatkan budaya bersih di masing-masing lingkungan, terutama menyangkut perilaku buang sampah sembarangan ini.

Cegah penurunan permukaan tanah agar tidak meluas.
Terjadinya penurunan permukaan tanah di wilayah Jakarta terutama di bagian Barat dan Utara, terjadi akibat tanah yang belum padat dan gencarnya pembangunan fisik untuk perumahan/perkantoran ditambah tidak terkendalinya pembuatan sumur air yang disedot langsung dari tanah.

Akibat lainnya adalah masuk dan merembesnya air laut menyebabkan air tanah berubah menjadi asin dan tidak dapat diminum. Semua area yang mengalami penurunan permukaan tanah sudah pasti menjadi wilayah genangan banjir.

Cegah banjir besar dengan pembangunan dinding penahan banjir (dam).
Pembangunan proyek Banjir Kanal Timur (BKT) sejatinya berfungsi sebagai pelengkap Banjir Kanal Barat (BKB) dan diharapkan bisa berperan untuk menampung segala tumpahan air hujan terutama pada saat kritis dipuncak musim hujan. Pada kenyataannya saat puncak musim hujan kemarin, banjir tetap melanda Jakarta, padahal BKT sudah tembus ke laut. BKT tetap berfungsi terutama dalam hal mempercepat distribusi air banjir menuju laut. Sebaiknya berbagai pihak yang terkait dalam hal mencari solusi banjir, melakukan kajian kembali. Apakah semua akar permasalahan banjir seperti tersebut di atas sudah ditangani dan dikoordinasikan dengan baik atau belum sepenuhnya ?

Hal-hal tersebut di atas jika dilaksanakan dapat meminimalkan bencana terjadinya banjir. Secara makro kita bisa belajar dari Negara Belanda yang wilayahnya di bawah permukaan air laut tapi tetap mampu mengelolanya, agar tidak terjadi banjir.
Secara mikro, di saat Jakarta dilanda banjir besar tahun 2008 ada satu lingkungan di sekitar Muara Karang Pluit Jakarta Utara, yang biasanya selalu langganan banjir, bisa terhindar dari bencana ini, sementara Kelapa Gading dan sebagian besar areal Jakarta saat itu terkena banjir besar (Informasi ini didapat dari teman penulis yang kebetulan tinggal disana). Lalu, mengapa bisa ?
Ya… bisa dicegah !!! Karena seluruh warganya secara bahu membahu mau tahu dan mau bergotong royong untuk membeli pompa air yang selalu siap berfungsi menyalurkan air dari sungai penampung untuk disalurkan ke bendungan sungai banjir kanal yang menuju ke laut.

Hal yang sama tentunya bisa diterapkan pada sungai banjir kanal baik yang sudah ada di Barat mau pun di Timur, dilakukan peninggian dinding penahan banjir seperti dam pada salah satu tepi sungai minimal 150 cm dari muka jalan raya (bisa juga disesuaikan dengan kondisi peil banjir besar yang lalu), di sepanjang aliran sungai banjir kanal yang menuju ke laut. Tentunya hal ini harus dilengkapi dengan keberadaan sungai pembagi dan penampung di sepanjang tepi Sungai utama banjir kanal. Dan yang paling penting disediakan pompa air yang selalu siap dalam kondisi prima untuk menyalurkan ke Sungai utama banjir kanal dan dalam jumlah yang sangat memadai disesuaikan dengan jumnlah kebutuhan di lapangan.

Belajar dari pengalaman Negara Belanda, kita pun bisa mulai menerapkan pemasangan dam (bendungan) disepanjang pantai utara Jakarta untuk mengimbangi dinding dam tepi sungai pada KBB mau pun KBT. Hal ini juga diperlukan sebagai antisipasi menghadapi kenaikan peil muka air laut akibat mencairnya es di kutub utara dan selatan yang akan menjadi kenyataan jika warga Bumi kurang peduli pada bahaya Pemanasan Global (Baca juga: Indonesia Di Ambang Bencana Akibat Pemanasan Global).

Penutup.
Penghijauan lingkungan merupakan solusi tepat untuk mengatasi segala bencana akibat kerusakan lingkungan seperti banjir. Jika program penghijauan lingkungan dari hilir sampai dengan hulu Sungai Ciliwung dilaksanakan dengan baik, Proyek Kanal Banjir Barat mau pun Timur bisa difungsikan dengan optimal, dan sistem drainase diperbaiki, sampah dikelola secara benar serta pembangunan dinding penahan banjir (dam) dilaksanakan ditambah peran serta aktif segenap warga Jakarta dalam hal penghijauan lingkungan, banjir di Jakarta pasti bisa dicegah dan diatasi secara tuntas, semoga.

Mulai dari sekarang, kita tingkatkan partisipasi demi membantu Bumi mengatasi pemanasan global dimulai dari rumah masing-masing, karena sesungguhnya sangat banyak hal-hal kecil yang bisa kita lakukan seperti yang bisa dibaca disini.

Penghijauan ( Go Green ) adalah program SAYANGI BUMI yang sangat tepat untuk dijadikan solusi, agar Bumi yang cuma satu ini, tetap bisa diwariskan serta dinikmati oleh generasi mendatang yaitu anak dan cucu kita sendiri.

*) Sumber: The Live Earth-Global Warming Survival Handbook 2007, sebagaimana ditulis pada kolom ‘Kita dan Emisi’ Kompas dalam rangka KTT Kopenhagen Desember 2009.
Foto ilustrasi adalah dokumentasi pribadi, foto Taman Menteng dari jakarta.go.id, foto penanaman pohon Ecopark dari kompascetak.com

Kamis, 11 Februari 2010

Kerusakan Hutan Tropis Indonesia dan Belajar dari Kearifan Budaya Lokal Suku Baduy yang Ramah Lingkungan

Hutan tropis Indonesia merupakan bagian dari 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan di Indonesia memiliki begitu banyak keanekaragaman hayati yang terdiri dari 12% jumlah spesies binatang menyusui/mamalia, 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Sebagian diantaranya adalah endemik atau khas hanya dapat ditemui di daerah tersebut. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya hingga mencapai 72 persen. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun, mengakibatkan terjadinya penyusutan hutan tropis kita secara besar-besaran. Lihatlah, apa yang terjadi:



Atas nama pembangunan, penghijauan berubah jadi hutan beton megah
Atas nama keserakahan, hutan-hutan dibabat seliar-liarnya
Atas nama kesengajaan, dan keapatisan hutan-hutan terbakar

Kini keadaan Bumi semakin meranggas
Penggundulan hutan menjadikan udara gerah semakin panas
Lapisan es di kutub Bumi pun semakin mencair dan semakin banyak

Kini keadaan Bumi semakin merana
Perubahan iklim, pemanasan global berdampak bencana
Gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, kekeringan, banjir, hujan badai dimana-mana
( Selengkapnya silahkan klik pada puisi: Keseimbangan Ekosistem Bumi Terusik Sudah )



Suatu kenyataan pahit, yang bisa kita lihat dari keadaan hutan tropis kita: pembalakan hutan secara liar (illegal logging) dan kebakaran hutan baik disengaja atau pun tidak. Dalam satu minggu terakhir, Kompas cetak masih memberitakan pembalakan liar yang masih terus terjadi di hutan sekitar Riau, Sumatera. Pertambangan batu bara liar atau resmi tapi tak dikontrol di Taman Hutan Rakyat Bukit Suharto Kalimantan Timur yang masih terus berlangsung serta meninggalkan kerusakan lingkungan berupa danau bekas galian disana-sini, demikian pula pertambangan lainnya. Tidak hanya di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan di Papua pun hutan tropis kita sudah mulai banyak yang berubah fungsi menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit.

Entah sampai kapan hal-hal seperti ini terus berlangsung dan merusak tatanan ekosistem hutan serta mengancam keberadaan keanekaragaman hayati yang ada didalamnya. Tidak hanya para penghuni di hutan, tatanan sosial budaya masyarakat adat di sekitar perkebunan kelapa sawit ini pun menjadi turut terganggu. Dengan hilangnya hutan berarti hilang juga sumber kehidupan bagi sebagian rakyat Indonesia, karena hutan merupakan tempat mencari makanan, obat-obatan serta menjadi tumpuan hidup bagi sebagian besar rakyat khususnya yang bermukim di dekat hutan.

Manusia perusak lingkungan masih saja berkeliaran. Sudah saatnya segenap jajaran kementrian lingkungan hidup, para polisi hutan beserta peran masyarakat di sekitar hutan dioptimalkan jangan sampai peristiwa ini terus terulang lagi dan terulang lagi.

Coba kita tengok dan pelajari banyak suku-suku adat yang tersebar di seluruh peloksok Indonesia, mereka pada umumnya sudah bertindak sangat ramah lingkungan melalui kegiatan hidupnya sehari-hari, dan kita yang katanya orang kota, faktanya justru banyak yang bertindak kurang peduli terhadap lingkungan.

Begitu sangat banyak kearifan budaya lokal dari berbagai suku adat yang banyak tersebar di seluruh peloksok Indonesia. Salah satunya, kita bisa banyak belajar untuk menghargai lingkungan dan alam sekitar dari Suku Baduy di Desa Kanekes, Leuwidamar-Lebak, Banten, yang terletak sekitar 120 kilometer sebelah Barat Daya dari Jakarta. Karena lokasinya yang relatif dekat di satu provinsi, penulis sempat berkunjung kesana beberapa kali, untuk cari informasi sambil berolah raga jalan kaki di lingkungan perbukitan yang berudara bersih dan segar.



Berikut adalah kegiatan dan kehidupan Suku Baduy sehari-hari yang dapat dijadikan pelajaran berharga serta sesuai dengan usaha kita untuk mereduksi mengatasi bahaya Pemanasan Global (Global Warming) dan Perubahan Iklim (Climate Change) yang sedang kita hadapi sekarang ini.

Warga suku Baduy tidak diperbolehkan menebang pohon secara sembarangan, terutama pohon yang berada pada area hutan lindung karena diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan kejernihan sumber air. Pepohonan di areal ini tidak boleh ditebang untuk dijadikan apa pun, termasuk diubah peruntukannya menjadi ladang atau kebon sayur/buah. Pernyataan jangan merusak hutan sudah sangat dipahami oleh segenap warga Baduy seperti pernah diungkapkan kokolot Baduy, Jaro Dainah: “Gunung ulah dilebur, Lebak ulah dirusak !” Seperti kita ketahui hutan tropis Indonesia banyak yang rusak dan berkurang karena keserakahan kegiatan penjarahan hutan secara liar (illegal logging) dan pembukaan lahan baru misalnya untuk perkebunan sawit dengan cara pintas membakar hutan yang mengakibatkan polusi udara sehingga Indonesia menempati urutan tiga besar penyumbang emisi di dunia dari segi kebakaran dan perusakan habitat hutannya.

Berladang/ bercocok tanam/ bertani merupakan pekerjaan utama suku Baduy. Tidak diperbolehkan penggunaan bahan-bahan kimia seperti pestisida terutama bagi orang Baduy Dalam yang hanya mengunakan pola tradisional organik dengan dibantu doa serta mantra-mantra. Dengan demikian pola tanam organik bebas kimia seperti ini, kenyataannya terbukti lebih bermanfaat dan menyehatkan dan malah sekarang mulai banyak ditiru oleh ‘orang kota’ yang peduli untuk menjaga kesehatannya.



Area pemukiman menggunakan bahan alamiah yang ramah lingkungan dan dibuat sendiri oleh warga Baduy secara bergotong-royong. Budaya saling menolong sangat menonjol diterapkan pada Suku Baduy, terutama jika dijumpai warga yang terkena musibah atau kesusahan. Seperti kita ketahui, budaya rasa kebersamaan dan empati tolong-menolong ini semakin tergerus di lingkungan perkotaan. Lantai panggung dan dinding rumah Suku Baduy menggunakan anyaman bambu, sedangkan atap dari bahan rumbia, membuat angina sangat leluasa berhembus menjadikan udara sejuk segar dan cahaya matahari secara alamiah dapat dimanfaatkan secara maksimal. Disini kita belajar untuk memanfaatkan sumber energi dari alam yang memang berlimpah, daripada menggunakan penyejuk udara buatan seperti ac yang boros listrik dan lampu terutama di siang hari.

Demikian pula dengan pembuatan fasilitas umum seperti jembatan untuk menyeberangi sungai, dibuat dari bahan-bahan alamiah seperti: jembatan bambu pada kampung Gajeboh, memanfaatkan rangkaian bambu besar dan panjang merupakan karya besar yang benar-benar indah dipandang mata dengan konstruksi yang ramah lingkungan.
Ada satu lagi jembatan yang sangat unik dan luar biasa indahnya, yaitu jembatan akar yang panjangnya 25m di atas Sungai Cisemeut, memanfaatkan akar dua buah pohon karet besar di kedua sisi sungai yang saling dililit/dipilin membentuk anyaman berbentuk jembatan sehingga dapat digunakan oleh orang untuk menyeberangi sungai. Sungguh suatu karya hebat yang tidak bisa dijumpai di kota-kota besar. Ini adalah karya di dunia nyata, tidak sekedar fiksi seperti jembatan akar yang terlihat pada film ‘Avatar’.



Pohon bambu banyak dijumpai di perkampungan Suku Baduy, hal ini sangat berperan membantu Bumi dalam menghadapi pemanasan global, karena penanaman bambu seluas satu juta are akan mengurangi hingga 4,8 juta ton emisi CO2 per tahun. *)

Hasil panen ladang di Baduy terutama padi. Padi ini disimpan di
lumbung-lumbung yang juga dibuat dari bahan bangunan alamiah seperti pada rumah dan bisa bertahan sampai puluhan bahkan ratusan tahun! Pada pondasi kaki lumbung (terutama milik warga Baduy Dalam) terdapat papan berbentuk bidang lingkaran yang berfungsi sebagai penghalang agar hama tikus tidak dapat masuk ke area lumbung penyimpanan beras. Padi dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan pangan warga Baduy. Budaya adat Baduy juga mengatur bahwa padi yang dihasilkan suku Baduy tidak boleh diperjualbelikan, baik di dalam ataupun di luar Baduy. Padi hanya boleh diberikan secara gratis. Bila ada warga yang gagal panen atau kekurangan beras, warga lain secara gotong royong membantu mencukupi kebutuhan beras mereka yang tertimpa musibah. Sedangkan tanaman sayur dan buah, seperti kacang, durian, atau aren ditanam di antara padi pada lahan yang disebut kebon, dan juga biasa ditanam tumpang sari dengan tanaman padi. Semuanya ditanam secara organik dan alamiah.

Udara di kampung Baduy yang berbukit-bukit (sebagian kontur kemiringan tanah mencapai 45 sampai dengan 60 derajat) tergolong masih bersih dan segar. Salah satunya karena suku Baduy pantang menggunakan alat transportasi, karena itu asap dari knalpot pun tidak dijumpai di kampung ini. Tak jarang, warga Baduy-terutama laki-laki-meninggalkan ladangnya bila pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, kegiatan bepergian ini dilakukan dengan berjalan kaki walau pun harus ke luar kota ! Disini kita bisa belajar menciptakan lingkungan yang bersih dengan tidak selalu tergantung dengan kendaraan bermotor yang asapnya akan menyumbang emisi CO2 penyebab terjadinya pemanasan global. Budaya jalan kaki bisa kita terapkan untuk tujuan dekat di sekitar lingkungan kita atau dijadikan kebiasaan berolah raga jalan setiap pagi atau sore yang bisa menyehatkan dan menyegarkan tubuh pada setiap harinya.

Kain dan baju yang dipakai oleh warga Baduy merupakan hasil tenunan sendiri dengan memanfaatkan bahan dan pewarnaan alamiah yang ramah lingkungan dari hutan yang ada. Demikian pula tas dibuat sebagai kerajinan tangan suku Baduy (kain tenun dan tas dapat dibeli sebagai oleh-oleh dari suku Baduy Luar yang tinggal mulai tapak batas sampai dengan jembatan bambu di kampung Gajeboh). Melalui warna baju yang dikenakan kita dapat membedakan suku Baduy Luar umumnya mengenakan warna hitam sedangkan Baduy Dalam warna putih. Untuk kegiatan membersihkan gigi dan badan juga seperti yang tercantum pada ketentuan peraturan yang ditulis pada prasasti di gerbang masuk pemukiman Suku Baduy, tidak boleh menggunakan odol/pasta gigi dan sabun, karena akan mencemari sungai dan lingkungan. Segala kegiatan ini menunjukkan betapa bersahabatnya warga Baduy dengan alam sekitar tanpa mencemarinya dengan segala sampah kimia, busa odol dan sabun, kemasan plastik dan sebagainya.

Makanan dan minuman warga baduy dibuat sendiri dari kegiatan berladang, dan pasti tidak tercemar bahan kimia pengawet seperti formalin dan borax. Salah satu minuman khas yang dibuat adalah campuran jahe dan gula aren (bisa dibeli sebagai oleh-oleh) yang sungguh sangat menyegarkan badan setelah jalan-jalan diperkampungan Baduy yang berbukit dengan pemandangan alamiah yang masih indah dan berudara segar. Kita harus berjalan dari terminal Ciboleger sekitar 3 kilometer ke jembatan bambu Baduy Luar di kampung Gajeboh dan sekitar 12 kilometer ke kampung Baduy Dalam di Cibeo. Sungguh kegiatan jalan-jalan di perbukitan (hiking) yang cukup menjadikan tubuh berkeringat tetapi pasti sangat menyehatkan !

Kita juga bisa belajar banyak dari budaya makan suku Baduy, kita terapkan budaya pola makan sehat banyak serat, organik dan segar yang justru banyak terdapat pada makanan vegetarian tradisionil asli Indonesia seperti lalapan, gado-gado, lotek, karedok, asinan sayur dan buah, aneka rujak, ketoprak, kupat tahu, toge goreng, pecel, nasi lengko, sayur asem, lontong sayur, tahu/tempe, pepes jamur dan oncom serta masih banyak lagi lainnya. Dengan banyak meng-konsumsi pangan lokal, berarti kita telah turut berperan menyelamatkan lingkungan, karena telah memutus rantai transportasi yang menjadi penyebab terbesar kedua terjadinya Pemanasan Global saat ini, jika kita bisa mengurangi makan daging (flexitarian) dan bahkan bisa berhenti makan daging (menjadi vegetarian) maka kita akan memutus rantai pangan daging dari industri peternakan yang menjadi penyebab utama terbesar terjadinya Pemanasan Global !

Lihatlah, untuk konsumsi sepotong daging (sapi, domba, babi, ayam dsb) pada piring makan kita, konversi energi yang dibutuhkan setara dengan menyalakan lampu 100 watt selama 3 minggu. Satu kilogram daging menyumbang 36,4 kg CO2. Jika kita membebaskan piring kita dari konsumsi daging seminggu sekali saja efeknya sangat positif untuk menghambat laju pemanasan global yang terjadi sekarang ini, karena mempunyai efek 7,6 kali lebih cepat dibandingkan gerakan hemat energi skala rumah tangga dalam setahun.

Sebagai gambaran industri peternakan dunia menyumbang 35 sampai dengan 40 persen emisi gas metana (CH4), 9 persen emisi gas CO2, dan menyumbang 65 persen emisi gas nitrous oksida (N2O), Ketiganya adalah gas rumah kaca (GRK) paling utama. GRK bertanggung jawab pada meningkatnya suhu atmosfer Bumi. Peternakan menyumbang sekitar 51 persen emisi GRK total dunia. *) Untuk diketahui efek pemanasan global gas metana adalah 23 kali lebih kuat dari CO2 dan N2O adalah 296 kali dari CO2.

Dengan sistem kepercayaan, adat-istiadat, serta niat untuk menjaga keseimbangan alam, suku Baduy terbukti mampu mandiri menghidupi diri mereka sekaligus melestarikan alam sekitarnya. Warga suku Baduy sangat cinta produk lokal buatan mereka sendiri, akibat positifnya mereka tidak ‘kena’ resesi ekonomi global dan yang pasti tidak turut menyumbang GRK penyebab terjadinya Pemanasan Global di bumi kita. Berdasarkan penelitian dan perhitungan para ahli lingkungan dunia, jika satu juta orang mengubah gaya hidup dengan berbelanja bahan-bahan makanan produk lokal selama setahun, kita dapat mengurangi emisi CO2 hingga 625.000 ton. *)

Begitu banyak hal yang dapat kita pelajari dari Suku Baduy yang kata orang kota masih ‘primitif’ namun sebenarnya telah bertindak sangat peduli ingkungan. Pemukimannya rapih, lingkungannya bersih, udaranya segar, sungainya tak tercemar oleh segala macam sampah seperti di perkotaan dan yang pasti hutannya masih terlihat hijau alamiah. Semoga saja, budaya adat mereka tidak serta-merta berubah akibat pengaruh yang datang dari para tamu serta turis yang silih berganti mengunjungi kampungnya yang memang terlihat masih unik, bersih dan sangat alamiah.

Anda tertarik untuk berkunjung ke Perkampungan Suku Baduy ?

Mau naik kendaraan pribadi atau kendaraan umum seperti bus antar kota dan kereta api tujuan kota Rangkas Bitung, lanjut ke arah terminal Ciboleger. Jika belum punya teman untuk petunjuk jalan dapat memanfaatkan jasa penduduk lokal untuk menemani agar tidak tersesat. Lakukan pengisian daftar tamu di rumah jaro dekat tugu batas gerbang masuk Perkampungan Baduy, beri sumbangan sukarela untuk keamanan dan perawatan kebersihan lingkungan, lalu tinggal pilih tujuan mau lihat obyek jembatan bambu, jembatan akar atau malah sampai lokasi Baduy Dalam (kecuali pada bulan Kawalu) silahkan saja.

Namun mohon diperhatikan beberapa ketentuan dan larangan seperti: tidak menebang pohon secara sembarangan, mencabut atau merusak tanaman sepanjang jalan yang dilalui, tidak menangkap atau membunuh binatang yang ditemui di perjalanan, tidak membuang sampah sembarangan (terutama yang berbahan kaleng dan plastik) di areal pemukiman termasuk sungai, tidak membuang puntung rokok yang masih menyala dan meninggalkan api bekas masak/unggun dalam keadaan menyala serta ketentuan-ketentuan lainnya yang tertera pada prasasti di dekat gerbang masuk.

Dan hal yang paling penting siapkan stamina anda untuk menghadapi trek jalan setapak mendaki yang ada dan bila belum terbiasa berjalan di tanah yang basah dan licin, hindari berkunjung pada saat musim hujan.

Ayo kita dukung segala program untuk menjadikan Bumi semakin hijau ( Go Green ), karena penghijauan merupakan salah satu cara ampuh untuk mengatasi dampak pemanasan global dan perubahan iklim yang sedang dialami Bumi kita yang cuma satu ini. Bagi anda yang ingin tahu lebih lanjut, masih ada 1001 cara untuk membantu Bumi dari dampak negatif pemanasan global dimulai dari rumah kita masing-masing, bisa dilihat dan klik disini.


Keterangan:
*) Sumber: The Live Earth-Global Warming Survival Handbook 2007, sebagaimana ditulis pada kolom ‘Kita dan Emisi’ Kompas dalam rangka KTT Kopenhagen.
Foto: koleksi pribadi ditambah ‘browsing’ dari Google.